“Bagai
punguk merindukan bulan...” kata seseorang yang tengah berbincang dengan
sekawannya.
“Memagnya
salah ya kalau aku menyukainya, Bang?” tanya Altair.
“Bukannya
begitu, kamu cerita sendiri kalau Aquila anaknya pendiam, agamis lagi. Nggak
sejalan sama jalur kita, Al”
“Kalau
begitu aku akan sejalan dengannya”
“Terserah,
jika kamu mengikuti anak itu, berarti kamu harus meninggalkan perkumpulan besar
kita ini. Kamu tahu konsekuensinya jika ketahuan Bang Tomi?”
“Aku
sudah memperhitungkan dan kamu jangan membuatku berubah pikiran. Selamat
tinggal, ya!” kata Altair sambil berlalu pergi dari markas laknat itu.
Hidup
ditengah hiruk pikuk dan ruwetnya perkotaan memang sering membuat orang-orang
awam, utamanya remaja, memilih untuk berpaling kepada sesuatu yang entah itu
baik atau buruk untuk sekedar menenangkan diri, seperti miras, rokok, ataupun drug.
Rasa haus akan kasih sayang, kebiasaan orang tua yang over protective, dan
lingkungan yang salah sering menjadikan anak merasa terkekang sehingga mencari
jalan pintas atau solusi lain yang cenderung membawanya kepada jurang
kegagalan.
Tak
terkecuali lelaki muda yang saat ini telah setahun memiliki KTP. Usia yang
cukup dewasa dan matang untuk berfikir dan membedakan haq maupun bathil. Namun
sayang, hidupnya sungguhlah tidak adil. Di tengah kedua orang tuanya yang
sama-sama terjun di dunia bisnis dan sering menemui klien di luar kota, ia
dibesar hingga menjadi seperti sekarang.
Saat
ini langkahnya mengarah ke sebuah pondok pesantren sederhana di tengah kota
yang pernah dipimpin Jokowi itu. Pondok Pesantren Al-Huda, Mojosongo, Solo.
Beberapa hari yang lalu ia melihat teman SD nya, Annisa Nur Aquila Husna,
tengah keluar dari pondok pesantren tersebut. Dia telah menjelma menjadi remaja
anggun dengan jilbab rapi hingga bawah siku. Selain itu, dia merupakan impiannya
sejak kecil. Dulu dai selalu berharap Aquilalah yang kelak menjadi pasangannya.
“Maaf,
Mas, saya Rusdi. Mau mencari siapa?” tanya seorang santri laki-laki yang
seumuran dengannya.
“Mau
mondok!” jawab Altair sekenanya.
“Mas,
nggak bisa seenaknya masuk begini. Mau mondok itu ada prosedurnya. Mas harus
menghadap ke Kyai Rasyid dulu” jelas Rusdi.
“Diam.
Anter gua ke kyai loe” pinta Altair.
“Baiklah.
Tapi, jaga omongan Mas. Tidak sopan” lanjut Rusdi.
Setelah
pembicaraan kecil itu, Rusdi mengantarkan Altair ke hadapan Kyai Rasyid. Usai
menyanggupi persyaratan yang diajukan kyai, beliau mengantarkan Altair ke
pondok putra.
Kini,
6 bulan sudah Altair mondok di Ponpes Al-Huda. Banyak perubahan yang terjadi
pada dirinya. Meski awalnya sangan sulit dan berat, tekadnya sudah bulat untuk
mendekati Aquila. Namun, selama ini pula gadis itu tak pernah nampak batang
hidungnya.
“Akhi,
apa Akhi kenal dengan Aquila?” tanya Altair pada Rusdi suatu hari.
“Akhwat
yang cukup sempurna di sini. Siapa yang tidak mengenalnya? Annisa Aquila, kan?
Hati-hati! Dia calon mantu Pak Kyai” sahut Rusdi.
“Ya,
dia. Sia-sia saja menjadi orang baik” kata Altair lirih.
“Jadi,
Akhi belajar di sini hanya untuk mendekati seorang akhwat? Luruskan dulu niat
Akhi, niscaya ada jalan” lanjut Rusdi.
“Ternyata
saat ini pun aku masih terlalu jauh dengan anganku. Ia seperti enggan menyapaku
meski aku semakin dekat dengan-Nya” ucap Altair dalam hati.
Husein
Altair Hanafi, meski elang adalah arti dari namanya, tetapi hidupnyapun tak
seperti elang yang dengan mudah mendapatkan mangsanya. Ia tak seperti elang
yang seenaknya mengembara kesana kemari. Walau ia pernah menjadi sosok yang
liar, namun tetap saja ia tak seperti namanya sendiri. Saat ini dalam posisi
melintasi jalan yang lurus, apa yang ia cita-citakanpun belum tercapai. Dunia
gila yang pasti dicitakan oleh lelaki seusianya masih jauh di atas
bintang-bintang di nirwana Arsy atau mungkin ia terlalu berangan di luar batas
pencapaian terbesarnya.
“Mungkin
ini karma atas kemungkaranku. Ampuni segala dosa hamba, Ya Allah! Tuntunlah aku
untuk lebih dekat dengan-Mu dan dengannya. Wait for me, Ukhti. Ana uhibbuka
fillah” batin Altair.