Fastabiqul khaira


Jumat, 26 April 2013

Elang Menantikan Akhwat


“Bagai punguk merindukan bulan...” kata seseorang yang tengah berbincang dengan sekawannya.
“Memagnya salah ya kalau aku menyukainya, Bang?” tanya Altair.
“Bukannya begitu, kamu cerita sendiri kalau Aquila anaknya pendiam, agamis lagi. Nggak sejalan sama jalur kita, Al”
“Kalau begitu aku akan sejalan dengannya”
“Terserah, jika kamu mengikuti anak itu, berarti kamu harus meninggalkan perkumpulan besar kita ini. Kamu tahu konsekuensinya jika ketahuan Bang Tomi?”
“Aku sudah memperhitungkan dan kamu jangan membuatku berubah pikiran. Selamat tinggal, ya!” kata Altair sambil berlalu pergi dari markas laknat itu.
Hidup ditengah hiruk pikuk dan ruwetnya perkotaan memang sering membuat orang-orang awam, utamanya remaja, memilih untuk berpaling kepada sesuatu yang entah itu baik atau buruk untuk sekedar menenangkan diri, seperti miras, rokok, ataupun drug. Rasa haus akan kasih sayang, kebiasaan orang tua yang over protective, dan lingkungan yang salah sering menjadikan anak merasa terkekang sehingga mencari jalan pintas atau solusi lain yang cenderung membawanya kepada jurang kegagalan.
Tak terkecuali lelaki muda yang saat ini telah setahun memiliki KTP. Usia yang cukup dewasa dan matang untuk berfikir dan membedakan haq maupun bathil. Namun sayang, hidupnya sungguhlah tidak adil. Di tengah kedua orang tuanya yang sama-sama terjun di dunia bisnis dan sering menemui klien di luar kota, ia dibesar hingga menjadi seperti sekarang.
Saat ini langkahnya mengarah ke sebuah pondok pesantren sederhana di tengah kota yang pernah dipimpin Jokowi itu. Pondok Pesantren Al-Huda, Mojosongo, Solo. Beberapa hari yang lalu ia melihat teman SD nya, Annisa Nur Aquila Husna, tengah keluar dari pondok pesantren tersebut. Dia telah menjelma menjadi remaja anggun dengan jilbab rapi hingga bawah siku. Selain itu, dia merupakan impiannya sejak kecil. Dulu dai selalu berharap Aquilalah yang kelak menjadi pasangannya.
“Maaf, Mas, saya Rusdi. Mau mencari siapa?” tanya seorang santri laki-laki yang seumuran dengannya.
“Mau mondok!” jawab Altair sekenanya.
“Mas, nggak bisa seenaknya masuk begini. Mau mondok itu ada prosedurnya. Mas harus menghadap ke Kyai Rasyid dulu” jelas Rusdi.
“Diam. Anter gua ke kyai loe” pinta Altair.
“Baiklah. Tapi, jaga omongan Mas. Tidak sopan” lanjut Rusdi.
Setelah pembicaraan kecil itu, Rusdi mengantarkan Altair ke hadapan Kyai Rasyid. Usai menyanggupi persyaratan yang diajukan kyai, beliau mengantarkan Altair ke pondok putra.
Kini, 6 bulan sudah Altair mondok di Ponpes Al-Huda. Banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Meski awalnya sangan sulit dan berat, tekadnya sudah bulat untuk mendekati Aquila. Namun, selama ini pula gadis itu tak pernah nampak batang hidungnya.
“Akhi, apa Akhi kenal dengan Aquila?” tanya Altair pada Rusdi suatu hari.
“Akhwat yang cukup sempurna di sini. Siapa yang tidak mengenalnya? Annisa Aquila, kan? Hati-hati! Dia calon mantu Pak Kyai” sahut Rusdi.
“Ya, dia. Sia-sia saja menjadi orang baik” kata Altair lirih.
“Jadi, Akhi belajar di sini hanya untuk mendekati seorang akhwat? Luruskan dulu niat Akhi, niscaya ada jalan” lanjut Rusdi.
“Ternyata saat ini pun aku masih terlalu jauh dengan anganku. Ia seperti enggan menyapaku meski aku semakin dekat dengan-Nya” ucap Altair dalam hati.
Husein Altair Hanafi, meski elang adalah arti dari namanya, tetapi hidupnyapun tak seperti elang yang dengan mudah mendapatkan mangsanya. Ia tak seperti elang yang seenaknya mengembara kesana kemari. Walau ia pernah menjadi sosok yang liar, namun tetap saja ia tak seperti namanya sendiri. Saat ini dalam posisi melintasi jalan yang lurus, apa yang ia cita-citakanpun belum tercapai. Dunia gila yang pasti dicitakan oleh lelaki seusianya masih jauh di atas bintang-bintang di nirwana Arsy atau mungkin ia terlalu berangan di luar batas pencapaian terbesarnya.
“Mungkin ini karma atas kemungkaranku. Ampuni segala dosa hamba, Ya Allah! Tuntunlah aku untuk lebih dekat dengan-Mu dan dengannya. Wait for me, Ukhti. Ana uhibbuka fillah” batin Altair.

Api di Langit Kota


Kemeriahan kota yang mempesona
Dan letusan-letusan kecil di langit malam
Membayangkan suaranya
Mengira-ira rupanya
Seperti air mancur yang melayang-layang
Ia hadir di malam hari yang gelap
Dengan warna-warni yang membawa keceriaan
Sejenak ia mampu melepas penat
Meramaikan suasana baru yang dinanti seluruh jiwa
Dari layar beberapa inchi
Api itu menari membentuk alur
Diantara gedung-gedung yang menjulang
Bunga-bunga api menampakkan wajahnya
Dan pudar seiring detik yang berganti
Namun, tak mampu kulihat dilangitku
Hanya ada di kota sana
Dan hanya mampu kutatap lewat gambar

Baturetno, 31 Desember 2012